Pemerhati Masyarakat Pertanyakan Nasib Petani Pascakenaikan Harga BBM

Selasa, 06 September 2022 13:33 WITA

Card image

Arimurti (kaos biru) narasumber, foto bersama Kepala Dinas Pertanian Pemda Teluk Bintuni (tengah).

Males Baca?

 

MCWNEWS.COM, BINTUNI - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, yakni Pertalite dari sebelumnya Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter.

"Ini adalah pilihan terakhir pemerintah, yaitu mengalihkan subsidi BBM. Sehingga harga beberapa jenis BBM yang selama ini subsidi akan alami penyesuaian," kata Presiden Jokowi terkait pengalihan subsidi BBM yang ditayangkan akun Youtube Sekretariat Presiden, Sabtu (3/9/2022) lalu.

Kenaikan harga BBM sempat memicu perdebatan dan panic buying di sejumlah daerah, juga di Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat. 

Salah satu pemerhati masyarakat membuat tulisan soal kenaikan harga BBM tersebut dan dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat di Kabupaten Teluk Bintuni.

Arimurti namanya. Ia yang pernah malang melintang di dunia Jurnalistik (media cetak dan TV) membuat satu etnografi atau tulisan yang mengulas soal kenaikan harga BBM dan dampaknya dengan judul "RAKYAT TAMPA SUBSIDI".

Ia mengulas bahwa secara perlahan namun pasti, pemerintah telah mengurangi alokasi dana subsidi. Subsidi BBM mulai dikurangi, sebelumnya rakyat masih mengenal bensin premium (warna kuning), kemudian dipaksa beralih ke pertalite dan pertamax. 

Karena subsidi mulai berkurang, sehingga harga BBM mulai naik dan memicu kenaikan harga barang/ jasa. Mulai tarif transportasi, harga pangan dan akan merembet ke harga-harga lainnya.

Meskipun dijanjikan adanya Bantuan Langsung Tunai (BLT), namun hal itu dinilai kurang efektif. Rakyat semakin menjerit, apalagi pendapatan tak kunjung naik sementara pengeluaran tentunya semakin besar.

"Rakyat miskin semakin mengencangkan ikat pinggang yang nampak kurus. Lalu bagaimana nasib petani sang pahlawan pangan negeri ini," ujarnya.

{bbseparator}

Dia menjelaskan, nasib petani mungkin tidak jauh beda dengan nasib-nasib  rakyat jelatah lainnya, bahkan mungkin lebih menyedihkan. 

Subsidi pupuk pun mulai dikurangi, yang sebelumnya pupuk bersubsidi diperuntukan bagi sekitar 70 an komoditi. Namun saat ini dibatasi hanya untuk 9 komoditi berdasarkan Permentan no : 10 tahun 2022, yaitu padi, jagung, kedelai, cabe, bawang merah, bawang putih, tebu, kakao dan kopi.

"Lalu bagaimana dengan petani yang menanam komoditi lainnya, tentunya tidak mendapat alokasi pupuk bersubsidi. Sementara harga subsidi dan non subsidi, perbedaannya sangat jauh. Jika petani harus untuk membeli pupuk non subsidi, maka tidak heran harga-harga pangan akan melonjak naik," ucapnya.

Di sisi lain lanjutnya, tidak ada jaminan pasar dari pemerintah terkait hasil panen para petani. Dan biasanya terjadi, saat panen raya maka harga akan anjlok. Namun saat harga hasil panen mulai bagus dan menguntungkan petani.

Biasanya pemerintah lebih memilih impor pangan dengan alasan menstabilkan harga pangan dalam negeri. 

"Sungguh tidak adil, petani harus bekerja berbulan-bulan menunggu hasil yang tidak seberapa," ungkap pria yang juga ASN di Dinas Pertanian Pemda Teluk Bintuni itu.

Ia lantas bertanya apa yang terjadi jika rakyat harus hidup tanpa subsidi. Mungkinkah akan terjadi krisis pangan, kemiskinan dan pengangguran semakin tinggi, dan angka kriminalitas pun melonjak.
 
Di akhir tulisan yang dia buat, Arimurti mewakili masyarakat terkhusus yang berprofesi sebagai petani berharap kebijakan yang cepat dari pemerintah.

"Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan yang cepat, tetap dan efektif dari pemerintah. Sehingga mimpi buruk yg tinggal menunggu waktu ini tidak semakin parah," tukasnya. (hs)


Komentar

Berita Lainnya