Tolak Permohonan Informasi, Kantor Pertanahan Kota Surabaya Diadukan ke KIP

Kamis, 19 Mei 2022 10:11 WITA

Card image

Dr. I Wayan Suka Wirawan, SH., MH. Advokat pada Digesta Law Firm (Foto : MCWNEWS)

Males Baca?

"Bukti-bukti otentik kepemilikan atas dasar "harta bersama" ini, tentu saja telah kami tunjukkan," sambungnya.

Pernyataan peraturan bahwa terdapat informasi yang dikecualikan, bagaimanapun, selalu mengandaikan adanya pihak yang berhak dan pihak yang tidak berhak atas suatu hal, dan bahwa pengecualian itu selanjutnya dimaksudkan untuk melindungi mereka yang berhak dari mereka-mereka yang tidak berhak. 

Karena kliennya, sebagaimana telah dikemukakan memiliki bukti-bukti yang menurut hukum sempurna atas klaim kepemilikan property dan oleh sebab itu adalah salah satu pemilik, maka penolakan badan publik untuk memberikan informasi yang telah kami mohonkan sama saja dengan menyatakan bahwa: "pemilik pun tidak berhak atas akses informasi atas sesuatu yang dimiliki".

Kecuali terdapat perjanjian kawin, yang dalam kasus ini tidak pernah ada, harta bersama adalah jenis kepemilikan "co-ownership", tidak penting diperoleh dan terdaftar atas nama siapa pun, dan penentuannya sebagai demikian adalah perintah legislasi di bidang perkawinan; "demi hukum".

Menurutnya, bahwa konkretisasi konsep hak dalam praktik hukum harus melalui proses ajudikasi, misalnya melalui peradilan sipil tertentu, tujuannya tidak lebih dari sekedar kepastian hukum.

"Kami sangat menyayangkan bentuk-bentuk pelayanan badan publik yang secara signifikan telah merugikan klien kami sebagai akibat dari penolakan pemberian informasi yang justru menjadi kunci pembuktian hak atas agenda ajudikasi sipil," ujarnya.

Pelanggaran prosedural seperti keterlambatan respon badan publik atas permohonan informasi, atau pemberian respon dengan cara tidak patut, atau praksis "tolak dulu—uji konsekuensi kemudian" bagaimanapun adalah bentuk-bentuk penyalahgunaan kewenangan, jika bukan sewenang-wenang.

Lepas dari adanya regulasi yang secara formal mendasari penolakan tersebut, yang oleh formalist dipikirkan konstitusional tetapi dapat dipastikan inkonstiusional menurut dikte "the rule of reason", bunyi paraturan dan penentuan makna interpretatif teks-teks regulasi yang dibuat, ditafsirkan, dan diterapkan sendiri oleh birokrasi bagaimanapun harus berangkat dari konsep tentang hak yang merupakan elemen kunci dari pernyataan "ius suum cuique tribuendi".

Lagi pula, sebagai subordinat UU kata Wayan Suka, regulasi tunduk pada prinsip-prinsip preferensi. Sulit pula bagi pihaknya untuk setuju atas diterimanya "pembuatan uji konsekuensi berlaku surut" dalam proses ajudikasi non litigasi atas penyelesaian sengketa informasi.


Halaman :

Komentar

Berita Lainnya