Sopir Pribadi Lukas Tolak Jadi Saksi, Hakim : Ada Akibat Hukum Jika Menolak

Senin, 07 Agustus 2023 16:18 WITA

Card image

Sidang Lanjutan Perkara Suap dan Gratifikasi Lukas Enembe Digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (7/8/2023). (Foto: Satrio/MCW)

Males Baca?

JAKARTA - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menggelar sidang lanjutan terkait perkara dugaan suap dan gratifikasi Gubernur nonaktif Papua, Lukas Enembe (LE). Agenda sidang Lukas hari yaitu pemeriksaan terhadap saksi dari Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Tim jaksa KPK menghadirkan lima saksi pada sidang hari ini, salah satunya, sopir pribadi Lukas Enembe, Basuki Rahmat Suminta alias Abas. Namun, Abas menolak atau keberatan menjadi saksi untuk terdakwa Lukas Enembe. Sebab, Abas merasa masih digaji dan punya ikatan batin dengan Lukas.

"Saya keberatan menjadi saksi. Alasannya beliau (Lukas Enembe) menggaji saya setiap bulannya dan masih ada ikatan batin," kata Abas di ruang sidang Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (7/8/2023).

Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh mengingatkan kepada Abas bahwa keterangannya dibutuhkan dalam kasus suap dan gratifikasi Lukas Enembe. Apalagi, keterangan Abas sudah sempat tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saat proses penyidikan Lukas Enembe di KPK.

"Karena sudah di persidangan, saya tanyakan lagi, sebagai warga negara punya kewajiban memberikan keterangan. Saya tanyakan kepada saudara, apakah saudara masih mau memberikan keterangan?," tanya Hakim Rianto Adam Pontoh ke Abas.

"Tidak pak, tidak bersedia!," jawab Abas.

Hakim kemudian mengonfirmasi keberatan Abas tersebut ke terdakwa Lukas Enembe. Lukas menyatakan bahwa tidak keberatan jika Abas menjadi saksi untuk dirinya. Setelah mendapat keterangan dari Lukas, Hakim lantas menolak keberatan Abas.

"Ada akibat hukum jika saudara menolak padahal saudara wajib kecuali, terdakwa keberatan, oke enggak ada masalah, tapi terdakwa ternyata tidak keberatan. Silakan saudara maju untuk disumpah," ucap Hakim Rianto ke Abas.

Diketahui sebelumnya, Lukas didakwa telah menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp46,8 miliar. Dengan rincian, ia menerima suap sebesar Rp45.843.485.350 (Rp45,8 miliar) dan gratifikasi sebesar Rp1 miliar. Suap dan gratifikasi itu berkaitan dengan proyek pengadaan barang dan jasa di Papua. 

{bbseparator}

Lukas didakwa oleh tim jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima suap bersama-sama dengan Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum Papua 2013-2017, Mikael Kambuaya dan Kadis Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) 2018-2021, Gerius One Yoman.

Adapun, uang suap itu berasal dari Direktur sekaligus Pemilik PT Melonesia Mulia, PT Lingge-lingge, Piton Enumbi sejumlah Rp10.413.929.500 (Rp10,4 miliar). Kemudian, sebesar Rp35.429.555.850 (Rp35,4 miliar) berasal dari Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo, Direktur PT Tabi Bangun Papua sekaligus pemilik manfaat CV Walibhu, Rijatono Lakka.

Suap tersebut bertujuan agar Lukas Enembe, Mikael Kambuaya, dan Gerius One Yoman mengupayakan perusahaan-perusahaan milik Piton dan Rijatono dimenangkan dalam proyek pengadaan barang dan jasa di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Tahun Anggaran 2013-2022.

Selain itu, Lukas juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp1 miliar dari Direktur PT Indo Papua, Budy Sultan melalui perantaraan Imelda Sun. Gratifikasi tersebut dapat dikatakan suap karena diduga berkaitan dengan proyek di Papua.

Uang sebesar Rp1 miliar tersebut, dianggap KPK sebagai bentuk gratifikasi yang bertentangan dengan jabatan Lukas selaku Gubernur Papua. Lukas juga tidak melaporkan penerimaan uang sebesar Rp1 miliar tersebut ke lembaga antirasuah dalam kurun waktu 30 hari.


Reporter: Satrio
Editor: Ady


Komentar

Berita Lainnya