KPK: Jangan Jadikan Pemilu Ajang Kontestasi Transaksional

Sabtu, 14 Oktober 2023 07:52 WITA

Card image

Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Amir Arief, dalam giat Sosialisasi Antikorupsi Kepada Anggota DPRD, DPW/DPD, dan Partai Politik Sumatera Barat (Sumbar) dari rangkaian Roadshow Bus Antikorupsi KPK, di Kantor DPRD Sumbar, Jumat (13/10/2023). (Foto: Dok.KPK)

Males Baca?

JAKARTA - Kontestasi politik tak jarang dipandang sebagai momen yang diwarnai praktik korupsi, karena kerap dimanfaatkan sebagai ajang transaksional. Bukan tanpa alasan, hasil kajian KPK di sektor politik menunjukkan, faktor pemenangan Pilkada nyatanya dipengaruhi oleh modal finansial (politik uang) dengan skala 95,5%, yang selanjutnya diikuti dengan modal sosial sebanyak 72,5%, faktor popularitas (terkenal) 69,6%, hingga faktor petahana sebanyak 66,4%. 

Hal ini dipaparkan Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi Amir Arief, dalam giat Sosialisasi Antikorupsi Kepada Anggota DPRD, DPW/DPD, dan Partai Politik Sumatera Barat (Sumbar) dari rangkaian Roadshow Bus Antikorupsi KPK, di Kantor DPRD Sumbar, Jumat (13/10/2023).

“Semakin lama kontestasi pemilu bukan lagi kontestasi ideologi, tapi kontestasi transaksional. Kampanye dan sosialisasi saja disisipi transaksional yang memakan 71% ongkos politik, lalu adanya biaya operasional, biaya saksi, praktir mahar partai yang tinggi, pemenuhan persyaratan dan administrasi, hingga biaya untuk melakukan survei,” sorot Amir.  

Selain mengingatkan masyarakat untuk tegas menolak politik uang, KPK juga berpesan agar penyelenggara negara, terutama di Sumbar, tak memberikan iming-iming uang guna meraup suara. 

“Sejak pertama menyalonkan diri, calon pemimpin harus menunjukkan nilai-nilai integritas. Integritas ini sederhananya adalah, apa yang kita ucapkan, harus sesuai dengan apa yang kita perbuat dan harus sesuai dengan norma. Bekalnya, ialah kejujuran,” jelasnya. 

*Upaya Pencegahan KPK untuk Sektor Politik*

Penyebab terjadinya korupsi, dijelaskan Amir melalui perspektif _fraud pentagon_ menurut Jonathan T. Marks. Pertama, adanya kewenangan lewat kekuasaan atau otoritas yang dimiliki; kedua, adanya arogansi dengan sikap superior. 

Ketiga, adanya tekanan dari internal atau eksternal; keempat, adanya kesempatan dari longgarnya tata kelola serta birokrasi; serta kelima, adanya rasionalisasi atau pembenaran atas kecurangan yang sudah terjadi. 

“Strategi yang tepat untuk mengatasi masalah-masalah tersebut pun sudah dirunutkan dalam Strategi Trisula Pemberantasan Korupsi melalui sula Pendidikan dengan membangun nilai antikorupsi; sula Pencegahan dengan melakukan perbaikan sistem; dan sula Penindakan untuk memberikan efek jera pada pelaku korupsi,” kata Amir. 


Halaman :

Komentar

Berita Lainnya