Tangani Kasus Korupsi Duta Palma Group, Kejagung Terapkan Unsur Kerugian Negara

Minggu, 04 September 2022 16:05 WITA

Card image

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, (Foto: Puspenkum Kejagung)

Males Baca?

 

MCWNEWS.COM, JAKARTA - Dunia penegakan hukum digegerkan dengan kasus yang merugikan keuangan negara sebesar Rp104 triliun, dari awalnya yang diperkirakan sebesar Rp78 triliun.

Sepanjang sejarah penegakan hukum di Indonesia, ini tidak saja fenomenal tapi luar biasa. Demikian diungkapkan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana.

Dikatakan, Jaksa Agung dan jajarannya tidak lagi menerapkan unsur kerugian negara tapi berani mengembangkan dan memperluas dengan unsur perekonomian negara.

"Sebab disini bukan soal keberanian, tetapi lebih pada kepastian dan kemanfaatan hukum itu sendiri," ucapnya, Minggu (4/9/2022).

Langkah strategis Kejaksaan Agung ini bukanlah yang pertama menerapkan perekonomian sebagai unsur yang wajib dibuktikan. Salah contoh yang masih hangat adalah perkara minyak goreng dengan kerugian mencapai Rp18 triliun.

Tentu dampaknya nyata dirasakan oleh masyarakat, bahkan ada yang sampai meninggal dunia akibat harus mengantre demi mendapatkan minyak goreng akibat tata kelola ekspor yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

"Duta Palma ada kaitannya dengan minyak goreng, tetapi fokusnya adalah penguasaan lahan negara secara ilegal dan hal ini sudah tidak lagi menjadi bahan perdebatan," tuturnya.

Kejaksaan sudah pernah menerapkan pada beberapa kasus terkait dengan penerapan dan pembuktian “perekonomian negara” yang dapat menjadi yurisprudensi bagi penegak hukum dalam mengambil pertimbangan dan keputusan.

{bbseparator}

Antara lain jauh sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) seperti putusan nomor: 1164 K/ Pid/1985 atas nama terdakwa TG, di mana secara melawan hukum membangun tanpa izin di wilayah perairan milik negara yang mengakibatkan negara tidak dapat memanfaatkan dan menggunakannya untuk kepentingan umum.

Pada kasus lain juga berkaitan dengan perekonomian negara adalah putusan Nomor: 1144 K/ Pid/ 2006 dengan terdakwa ECW N sebagai Direktur Utama Bank Mandiri, yang memberikan pinjaman (bridging loan) secara melawan hukum dengan tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam dunia perbankan dan cenderung mengarah pada Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 

Juga ada kasus ekspor tekstil oleh PT. Peter Garmindo Prima dan PT. Flemings Indo Batam dengan terdakwa Drs. Ir dengan Putusan MA Nomor 4952 K/Pid.sus/2021 tanggal 8 Desember 2021. 

Di mana akibat perbuatan terdakwa yang menyalahgunaan izin impor mengakibatkan terjadinya lonjakan jumlah impor barang yang masuk, dan berpotensi merugikan produk tekstil dalam negeri serta menyebabkan penutupan sejumlah pabrik tekstil dan UMKM. Sehingga berdampak dengan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

Ia menegaskan, jika penerapan unsur perekonomian negara dapat diterapkan secara konsisten, hal ini menjadi momok yang ditakuti para koruptor dikarenakan penyitaan terhadap berbagai aset korporasi dan pribadi.

Aset yang terafiliasi dengan pelaku dan korporasi termasuk keluarga, bahkan tindakan lebih ekstrim yaitu memblokir semua rekening pelaku dan yang terafiliasi dengan pelaku tindak pidana.

"Hal inilah yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung sehingga terdakwa SD (Surya Darmadi) dengan sukarela pulang ke tanah air untuk membela dirinya," ungkapnya. 

Dalam perkara Duta Palma kata Sumedana, yang dimaksudkan perekonomian uraiannya sangat panjang. Antara lain kerugian yang terkait masyarakat atau rumah tangga, konflik pemanfaatan lahan, penerimaan-penerimaan negara yang tidak dibayarkan.

{bbseparator}

Keuntungan yang diterima secara ilegal di mana belum termasuk kerusakan ekologi (lingkungan di sekitarnya dan penghijauan kembali) semua dapat dihitung oleh ahli secara real loss.

Ditambahkan, pemberantasan tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan dengan cara-cara konvensional karena terjadi secara masif dan terstruktur dalam suatu birokrasi pada tingkat bawah sampai tingkat atas dan melintasi batas-batas negara dengan modus yang semakin canggih.

Hal ini menyebabkan bargaining (proses tawar-menawar) antar negara di level internasional menjadi lemah dikarenakan investor takut menjadi ladang bajakan birokrasi. 

Untuk itu, aparat penegak hukum tidak hanya menyeret pelaku tindak pidana secara perorangan tetapi juga harus menyeret korporasi sebagai pelaku tindak pidana dikarenakan korporasi dapat dijadikan alat sebagai tempat melakukan tindak pidana dan sebagai tempat pencucian uang.

Sehingga orang dan korporasi juga dapat dikenakan tindak pidana pencucian uang (money laundering), dan hal yang paling penting dan mendesak adalah perjanjian bilateral dan multilateral sangat diperlukan untuk saat ini dalam rangka mengantisipasi aliran dana korupsi keluar negeri.

Perampasan aset koruptor di luar negeri dan pemulangan koruptor yang bersembunyi di luar negeri sehingga tidak ada lagi tempat bersembunyi dan tempat menyembunyikan harta benda pelaku di luar negeri, serta pemulihan aset (asset recovery) menjadi lebih mudah bagi aparat penegak hukum sebelum Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana disahkan.

"Karena selama ini pemulihan aset sangat sulit dilakukan ketika sudah lintas negara disebabkan kebijakan hukum di berbagai negara yang berbeda-beda," tegasnya. (ag)


Komentar

Berita Lainnya