Kejati Sulsel Selidiki Keterlibatan Mafia Tanah dalam Pengadaan Lahan Pembangunan Bendungan Paselloreng

Sabtu, 22 Juli 2023 09:56 WITA

Card image

Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Leonard Eben Ezer Simanjuntak, saat memberikan keterangan kepada awak media, Jumat (21/7/2023). (Foto: Puspenkum)

Males Baca?

MAKASSAR  - Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan tengah melakukan penyidikan dugaan kasus mafia tanah pembayaran ganti rugi lahan masyarakat untuk kegiatan pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.

Penyidikan dilakukan karena Tim Penyelidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan telah menemukan adanya peristiwa pidana.

"Selanjutnya pada tahap penyidikan akan dilakukan pengumpulan bukti-bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan siapa yang bertanggungjawab secara pidana," kata Kasi Penerangan Hukum Kejati Sulawesi Selatan Soetarmi, Jumat (21/7/2023).

Kasus ini bermula ketika Balai Besar wilayah sungai Pompengan Jeneberang (BBWS) membangunan fisik Bendungan Passeloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo pada tahun 2015.

Untuk kepentingan pembangunan Bendungan, Gebernur Sulawesi Selatan mengeluarkan keputusan penetapan lokasi pengadaan tanah pembangunan bendungan.

Di sana lahan atau tanah masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Lapaiepa dan Lapantungo. Sehingga diperlukan proses perubahan kawasan hutan dalam rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan.

Pada tanggal 28 Mei 2019, kemudian terbit Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesian Nomor : SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019.

Tentang perubahan kawasan hutan menjadi bukan Hutan Kawasan Hutan seluas + 91.337 HA, perubahan fungsi kawasan hutan seluas + 84.032 dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas + 1.838 HA di Provinsi Sulawesi Selatan.

Bahwa setelah dikeluarkan sebagai kawasan hutan, ada oknum yang memerintahkan beberapa honorer di Kantor BPN Kabupaten Wajo membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) kolektif sebanyak 246 bidang tanah pada tanggal 15 April 2021.

{bbseparator}

Sporadik tersebut diserahkan kepada masyarakat dan Kepala Desa Paselorang dan Kepala Desa Arajang untuk ditandatangani.

Sehingga dengan Sporadik tersebut seolah-olah masyarakat telah menguasai tanah tersebut padahal diketahuinya bahwa tanah tersebut adalah Kawasan hutan. 

Setelah itu, 246 bidang tanah tersebut dinyatakan telah memenuhi syarat untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian oleh satgas A dan Satgas B yang dibentuk dalam rangka pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum tersebut.

Tak hanya itu, dalam pelaksanaannya KJPP yang ditunjuk hanya menilai harga tanah dan tidak melakukan verifikasi jenis dan jumlah tanaman tetapi hanya berdasarkan sampel. 

Berdasarkan penilaian harga tanah dan tanaman, BBWS Pompengan meminta LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) Kementerian Keuangan melakukan pembayaran terhadap 241 bidang tanah seLuas + 70,958 Hektar dengan total pembayaran sebesar Rp75.638.790.623.

Namun karena 241 bidang tanah tersebut merupakan eks kawasan hutan yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai lahan atau tanah garapan.

"Karena berdasarkan foto citra satelit yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) pada tahun 2015, bahwa kawasan tersebut masih hutan dan bukan merupakan tanah garapan sebagaimana klaim masyarakat," tuturnya.

Dikatakan, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Leonard Eben Ezer Simanjuntak meminta kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perkara ini untuk koperatif dan tidak melakukan tindakan yang dapat menghilangkan barang bukti sehingga dapat mempersulit jalannya pemeriksaan.


Reporter: Putra
Editor: Ady


Komentar

Berita Lainnya